SEJUMLAH
ilmuwan baru-baru ini menciptakan teknik baru mengatasi telinga
mendengung atau tinnitus. Caranya dengan merangsang sel syaraf di leher
dan melakukan permainan suara.
Kasus
gangguan pendengaran sampai saat ini masih menghantui warga dunia.
Menurut perkiraan Badan Kesehatan Dunia PBB (World Health
Organization/WHO) pada 2005 terdapat 278 juta penderita gangguan
pende-ngaran dan kurang lebih 75–140 juta penderita itu terkonsentrasi
di Asia Tenggara. Namun, sejumlah berita membahagiakan kembali dilansir
para ilmuwan.
Para
peneliti baru-baru ini telah menemukan sejumlah cara untuk menyembuhkan
penyakit kronis yang menyerang indra pendengaran, yaitu telinga
mendengung atau lebih dikenal sebagai tinnitus. Penggunaan teknik
merangsang sel syaraf di leher dan melakukan permainan suara untuk
mengulang dari awal sistem (reboot) di otak terbukti mengurangi terjadinya gangguan ini.
Penelitian
ini sendiri telah dipublikasikan pada Rabu (12/1). Sampai saat ini
memang belum ada obat untuk menyembuhkan tinnitus. Ini tentu saja
menjengkelkan dan mengganggu sekitar 23 juta orang dewasa di Amerika
Serikat, termasuk satu dari 10 penderitanya adalah orang tua dan 40
persen di antaranya berasaldari kalangan veteran militer.
Seperti
juga dialami Gloria Chepko, 66, yang telah menderita tinnitussejak
berumur empat tahun. Dia menggambarkan suara mendenging di telinganya
seperti suara jangkrik, tetapi mirip juga dengan bunyi bel. Suaranya
makin kencang saat dia sedang dilanda kelelahan. ”Ini mengerikan,” kata
Chepko.
”Kadang-kadang
terdengar sangat keras. Suaranya makin nyaring jika saya di bawah
tekanan atau pergi keluar untuk waktu yang sangat lama dan saya sedang
lelah,” ceritanya. ”Jika pikiran saya capai dan saya duduk sendirian,
saya hanya akan mendengar suara (di telinga) ini,” tuturnya seperti
dikutip dariAFP.
Bagi
sebagian orang, seperti para veteran militer yang selalu terpapar suara
kencang akibat ledakan keras dan tembakan beruntun juga jenis
kebisingan lainnya –yang juga bisa terdengar seperti suara mengaum,
mendesing, atau mengeklik– tentu akan mengganggu kemampuan mereka untuk
menjalani hidup normal seperti orang lain.
Para
ahli ekonomi menyebutkan, The US Veterans Administration menghabiskan
USD1 miliar per tahun atas pembiayaan kecacatan yang terkait dengan
penyakit tinnitus, di mana penyakit ini yang paling banyak terkait
dengan pelayanan paling umum oleh seorang prajurit yang telah kembali
dari Irak dan Afghanistan.
Ilmuwan
percaya bahwa gangguan ini disebabkan oleh hilangnya pendengaran atau
terjadinya kerusakan syaraf, di mana otak mencoba mengatasinya tetapi
gagal untuk menyesuaikan diri.
”Perubahan
sistem otak dalam mengatasi kerusakan saraf atau trauma koklea
menyebabkan aktivitas saraf tidak teratur, yang diyakini bertanggung
jawab sebagai penyebab berbagai jenis nyeri kronis dan tinnitus,” kata
Michael Kilgard dari University of Texas, penulis pendamping studi dalam
jurnal terbaruNature.
”Kami percaya bahwa bagian dari otak yang berfungsi memproses sebuah suara yaitu korteks pendengaran (auditory cortex) mendelegasikan neuron terlalu banyak untuk beberapa frekuensi, dan akhirnya gangguan itu pun mulai terjadi,” ungkap dia.
Untuk
memperbaiki kerusakan itu, peneliti menggunakan tikus untuk menguji
sebuah teori bahwa mereka dapat mereset otak dengan pelatihan ulang
sehingga neuron yang menyimpang kembali ke keadaan normal. Pada tikus
yang menderita tinnitus, simpul listrik merangsang syaraf vagus, yang
berlangsung dari kepala melalui leher ke perut, dalam kombinasi dengan
memainkan nada tinggi yang melengking. Ketika distimulasi, saraf dapat
mendorong perubahan di otak dengan melepaskan bahan kimia seperti
acetylcholine dan norepinephrine yang berfungsi sebagai
neurotransmitter. Tikus yang menjalani proses keduanya, yaitu pemaparan
suara dan stimulasi mengalami penghentian suara mendenging hingga tiga
setengah bulan lamanya. Sementara tikus yang hanya menerima satu proses
saja, yaitu pemaparan suara kencang atau hanya stimulasi, tidak
mengalami perubahan apa-apa.
Pemeriksaan
respons saraf di bagian korteks pendengaran menunjukkan tingkat normal
pada tikus yang diobati dengan kombinasi rangsangan dan suara,
menunjukkan gangguan tinnitus telah menghilang.
”Perawatan
tikus ini berarti tidak hanya mereorganisasi neuron untuk merespons
frekuensi asli mereka, tetapi juga membuat respons otak lebih tajam,”
kata studi tersebut.
”Kuncinya
bahwa,tidak seperti perlakuan sebelumnya, kita tidak menutup-nutupi
tinnitus, kita tidak menyembunyikan tinnitus,” ujar Kilgard.
”Kami
mengembalikan sistem otak dari bagian yang menghasilkan tinnitus ke
sebuah bagian yang tidak menghasilkan tinnitus. Kami mencoba
menghilangkan sumber
adanya gangguan tinnitus,” ungkap dia.
Menurut
peneliti utama studi ini, Navzer Engineer, percobaan klinis pada
manusia diharapkan akan dimulai dalam beberapa bulan mendatang, dengan
percobaan pertama diawali di Eropa. Dalam studi itu disebutkan, proses
stimulasi saraf vagus, yang dikenal dengan vagus nerve stimulation/VNS,
sudah digunakan dalam pengobatan sekitar 50.000 orang dengan epilepsi
atau depresi.
”Metode
untuk meminimalisasi cara invasif untuk menghasilkan saraf yang mudah
dibentuk, memungkinkan kita untuk secara tepat memanipulasi sirkuit
otak, yang tidak dapat dicapai dengan obat-obatan,” kata Engineer.
Memasangkan
suara dengan VNS memberikan cara yang presisi untuk memasang kembali
sirkuit yang rusak dan mengembalikan aktivitas abnormal yang
menghasilkan suara aneh.
Seperti
banyak penderita, Chepko telah belajar untuk bagaimana mengatasi
kebisingan tersebut. ”Saya harus mencari cara lain untuk bersantai agar
bisa bertahan dengan gangguan ini, mandi atau melakukan peregangan, atau
hanya berbaring dan membaca buku, bergantung pada seberapa parah
(suara) itu,” katanya.
”Saya harus hidup dengan penyakit ini atau menyudahinya,” tutur Chepko.
0 komentar:
Posting Komentar